Suatu Siang di Jakarta

PUKUL 10 siang waktu itu. Mungkin masih terbilang pagi untuk kota sesibuk Jakarta. Tetapi di depan sebuah rumah sakit umum kegaduhan sudah bertumpuk-tumpuk. Orang-orang yang datang ke sana tidak hanya harus bergegas di antara bunyi klakson mobil, deru mesin tua bajaj, teriakan kenek angkot dan tukang parkir, serta riuh para pedagang asongan. Mereka juga harus dijejali kebisingan lain yang menggedor-gedor dari dua kampus perguruan tinggi swasta yang berlokasi persis di depan rumah sakit.

Orang-orang itu, pasien yang akan berobat, para pengantar, keluarga mereka, pegawai rumah sakit, mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus menerima segala kegaduhan dan kebisingan itu sebagai risiko berada di tempat ini. Kalaupun ada yang bertanya, itu pun tidak lagi dengan keluhan. “Demo apa lagi anak-anak mahasiswa itu?” begitu ucap seorang pedagang buah-buahan di balik pagar tembok rumah sakit. Nada bicaranya memang mengandung kejengkelan, namun ia sepertinya sudah terbiasa dengan semua itu, dengan suasana yang sebenarnya tidak pas bagi sebuah rumah sakit besar yang tiap saat harus menangani puluhan bahkan ratusan pasien sakit dan luka.

Ya, termasuk aksi demo yang riuh rendah, berarak-arak, dan memacetkan lalulintas yang untuk ke sekian kalinya dilakukan dua kampus itu sudah menjadi bagian kegaduhan di sana, bagian yang rutin dari keramaian di depan gedung rumah sakit. Tetapi, siapa sebetulnya yang mau direcoki dengan bermacam kebisingan yang belum tentu berguna bagi dirinya, siapa yang rela ketenangannya direnggut untuk sesuatu yang belum jelas urgensinya. Sementara aksi unjuk rasa yang hiruk-pikuk di depan rumah sakit itu sepertinya memang tutup mata terhadap kondisi apa pun yang tengah dialami publik di sekitarnya. Ratusan mahasiswa itu terus hilir-mudik melakukan pawai, bernyanyi-nyanyi, berpidato, kadang menjerit melontarkan kalimat-kalimat yang oleh umumnya manusia di sana lebih terdengar sebagai amarah daripada sebuah pesan sosial, pesan moral, atau pesan politik – kalaulah mau dibilang begitu.

Orang-orang yang berdemo itu sepertinya memang tak mau tahu dan tak ambil pusing dengan suasana sekitar, dengan masalah-masalah yang lebih riil dan dihadapi warga kota. Mereka tak peduli suara-suara yang nyaring menyembur lewat speaker itu mengusik para pasien di ruang perawatan anak-anak yang letaknya di lantai dua gedung rumah sakit persis berseberangan dengan kampus di mana unjuk rasa itu digelar. Mereka mungkin tak pernah coba berpikir untuk mempertimbangkan dampak aksi itu ketika seorang bocah melotot ketakutan di pangkuan ibunya dan lalu jatuh lunglai setelah mendengar hardikan di luar sana: “Bunuh! Jangan biarkan dia hidup!”

Orang-orang yang berdemo itu sepertinya memang hanya berpikir bahwa mereka harus berdemo, mereka harus turun ke jalan, mereka harus menunjukkan sikap, harus menyatakan pendapat. Orang-orang itu sepertinya hanya merasa harus mengisi peluang demokrasi yang dibuka lebar sekarang ini dengan hari-hari demo, hari-hari penghujatan terhadap mereka yang dianggap korupsi, kolusi, dan nepotisme, hari-hari protes terhadap beragam ketimpangan dan penyelewengan hukum. Orang-orang itu sepertinya hanya paham bahwa untuk membenahi keadaan yang sungsang sundel ini harus dengan pengerahan massa ke jalan, dengan menggedor-gedor setiap pintu dan jendela, dan kalau perlu melempari setiap kaca rumah dengan tinja.

Lihatlah pula, siang itu di depan rumah sakit besar di kota metropolitan Jakarta. Seluruh badan jalan tempat lewat dan keluar-masuk kendaraan nyaris dikuasai arak-arakan demo. Arus lalu-lintas dari kedua arah tersumbat oleh ratusan manusia. Mereka berjingkrak-jingkrak, bernyanyi, berorasi entah untuk siapa, sebab tidak ada satu pun publik di sana yang tampak merespon. Seorang wanita berbusana rapih tampak malah sibuk mencari taksi seraya memasang wajah kesal karena urusannya terhambat. Seorang pria setengah umur tampak bersandar lemah di belakang makanan basah jualannya karena gara-gara demo itu calon pembeli seolah menyingkir jauh. Seorang tukang parkir di sudut jalan malah bersumpah serapah manakala lahannya terampas oleh barisan para pengunjukrasa.

Menyedihkan, karena sepertinya nyaris tidak ada hal baik yang menyambungkan aksi demo itu dengan kepentingan khalayak, dengan kepentingan warga Jakarta, dengan kepentingan rakyat negeri ini. Dan, apa yang terjadi ketika di tengah berlangsungnya hingar-bingar demo itu dari kejauhan mengalun bunyi sirine ambulan. Seorang korban kecelakaan yang butuh pertolongan segera sedang dalam upaya keras menerobos kepekatan lalulintas Jakarta. Namun toh demo itu tak juga mencair dan memberinya jalan untuk sekadar mempersingkat sedikit perjalanan menghindari elmaut itu.

Dan, bunyi sirine yang terus meraung-raung itu ternyata tak juga merambat ke depan, dan selama lebih lima menit lamanya malah terkurung di tengah aksi demo itu. Mobil ambulan yang tampak tak berdaya bak sebuah kutu dalam genangan air baru bisa berbelok masuk ke ruang gawat darurat setelah arak-arakan demo kembali ke kampus. Saat itu tidak ada yang tahu, tidak juga ada yang mau peduli, di ruang gawat darurat, korban kecelakaan yang berjuang melawan sekarat itu akhirnya tak tertolong lagi.

iman handiman

Published in: on Maret 29, 2008 at 2:32 am  Tinggalkan sebuah Komentar  

The URI to TrackBack this entry is: https://imanhandiman.wordpress.com/2008/03/29/suatu-siang-di-jakarta/trackback/

RSS feed for comments on this post.

Tinggalkan komentar